Ngabuburit

BULAN puasa tak lepas dari ngabuburit, beraktifitas santai untuk menunggu bedug maghrib. Terhitung sejak dua hari tiba di Sukoharjo, saya juga ngabuburit. Ngabuburitnya tidak ke mall, wifian, cari takjil, yang-yangan atau trek-trekan, melainkan ikut jualan Mardadik, seorang tetangga dekat rumah.
Profesi Mardadik memang bakul, penjual. Tepatnya, penjual mainan anak-anak. Sehari-hari dia menjajakan jualannya pada anak-anak SD. Tetapi, karena lagi musim libur sekolah, saban sore dia ganti menyasar TPA-TPA.
Ngabuburit
Melihat gambar di atas, barangkali sampeyan berpikir mainan embyeh-embyeh itu takkan laku. Sudah tidak njaman di era kuota internet yang serba kekinian. Semula saya juga berpikir seperti itu. Tetapi, ternyata saya salah. Anak-anak TPA tetap antusias membelinya meskipun (boleh jadi) mereka punya smartphone di rumah dan mahir mengoperasikan segala macem aplikasinya.
Saya seperti tersadarkan bahwa anak-anak tetaplah anak-anak. Mainan, apapun itu, adalah hiburan dan animo mereka. Tetap menarik dan membuat penasaran jiwa unyu mereka. Sisi inilah yang coba dimanfaatkan oleh Mardadik sebagai lahan mencari rejeki.
"Sejak kapan kamu jualan mainan, Dik?"
"Sudah lama, Par."
"Critanya gimana kok kamu bisa jualan mainan?"
"Keluar dari pabrik triplek aku kan nganggur. Suatu hari, waktu ndasku mumet karna ndak ada pemasukan, aku ngonthel ke Wonogiri. E, ndilalah, nglewati SD aku lihat ada yang jual mainan. Rame! Lalu tak pikir-pikir, aku jualan mainan saja."
"Apa nggak lebih enak kerja di pabrik to, Dik? Pabriknya juga dekat. Cuma sak enyukan kok."
"Yang jadi setap di kantornya enak. Lha, aku? Mung buruh kasare! Sudah gajinya ndak seberapa, paru-paruku juga sesak. Aku ndak betah."
Ngabuburit
Menurut amatan saya, jualan Mardadik laku. Laris manis. Padahal, mainannya itu-itu saja. Nyatanya anak yang kemarin beli mainan A, seakan tak bosan, hari ini masih beli mainan yang sama. Kadang ada yang mesan mainan tertentu yang dengan senang hati Mardadik penuhi. Saban sore, dia menjelma gula-gula yang dirubung anak-anak TPA.
Mardadik mengaku bisa membawa pulang duit 100-120 ribu dan penghasilan bersihnya mencapai 70%. Dengan jam kerja yang cukup singkat, berangkat pukul tiga sore, pulang pukul lima sore, penghasilannya tergolong lumayan kendati tak sebesar penghasilan Suwarsi cs. Tak perlu kemringet, tak perlu modal otot. Jarak tempuhnya pun tak sampai menghabiskan bensin seliter.
Menganut paham sedikit demi sedikit jadi bukit dan hemat pangkal kaya, Mardadik menabung sebagian penghasilannya. Menabungnya bukan di bank. Cukup ditaruh di dalam kotak saktinya. Dia adalah tipikal manusia yang sama sekali tak percaya pada bank.
"Katanya dapat bunga, tapi tiap bulan kok dipotong? Ora masuk akal to? Gedebhus!" begitu pendapatnya tentang bank.
Kuncinya, kata Mardadik, harus menahan diri. Tidak boros dan tidak mudah tergiur. Mewah dan nggaya tidak penting. Kaos duapuluh ribu dan kaos duaratus ribu takkan ada bedanya jika sudah nempel di badan. Makan tempe-tahu atau makan iwak-iwakan, besok pagi sama-sama moncrot jadi tai.
"Percuma kerja kalo ndak punya tabungan babar blas. Ujung-ujungnya ndak akan punya apa-apa."
Berkat keuletan dan prinsipnya itu, Mardadik menuai hasil. Dia punya motor Mio gress dan berhasil mewujudkan salah satu impiannya: membangun toko. Tiga toko sudah berdiri, berderet, di samping rumahnya. Sudah terisi semuanya. Per toko dia sewakan lima juta per tahun.
Dan lewat mainan-mainannya, Mardadik masih terus mengejar impian-impiannya ...

Sukoharjo Makmur, 23 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar