Mudik

PUASA sudah setengah main. Seperti bulan puasa di tahun-tahun kemarin, (untuk menghindari macet) tiba waktu bagi saya dan ibu untuk mudik ke Sukoharjo. Ya, sejak bapak tiada, kami tak pernah lagi merayakan lebaran di Sumenep. Setiada bapak pula ibu cenderung merasa dirinya hanya sebagai perantau dari Sukoharjo yang numpang cari rejeki di Sumenep, bukan lagi sebagai istri yang bersuamikan orang Sumenep. Semua kerabat bapak sih baik dan tetap mengganggap kami keluarga, tetapi mau gimana lagi, wong ibu sudah kadung berperasaan begitu.
Mudik kali ini agak beda. Sedikit spesial. Jika tahun-tahun kemarin naik bus, kali ini ibu nyarter minibus. Itu karena beberapa kerabat bapak ikut mengantar kami. Mereka juga sekalian mau ke Solo, mau ngelencer ke Pasar Klewer dan Keraton Kasunanan.
“Nggak sekalian ke mall, Lik? Di Solo banyak mall-nya, lho. Barangnya ganteng-ganteng.”
“Apa, Par? Emmol?”
“Mall!”
“Iya, emmol. Itu, to, yang tangganya bisa jalan sendiri seperti yang di Surabaya?”
“Ho’oh, yang seperti itu, Lik. Sudah pernah ke mall to, Lik?”
“Sudah. Waktu ikut ziarah ke makam Sunan Ampel mampir ke emmol. Cuma ndak beli apa-apa. Mahal-mahal, e!”
“Di Solo pada mau belanja batik to, Lik?”
“Iya, Par. Di Klewer kan katanya murah-murah. Pulang dari rumah kamu, kami rencana mau mampir ke Klewer dan lihat-lihat kraton. Biar nanti juga bisa cerita sama tetangga.”
Begitulah. Kami berangkat bakda buka, sekira pukul 18.00 WIB. Minibus bergerak dengan kecepatan sedang. Sebelumnya, kami sudah memberi warning pada Tayu, sang sopir, agar tidak ngebut. Pokoknya, biar lambat asal selamat. Pepatah klasik itu tentu bisa kami berlakukan karena naik mobil carteran. Coba naik Sumber Kencono (sekarang mecah rogo jadi Sugeng Rahayu dan Sumber Selamat), paling-paling hanya berharap mudah-mudahan remnya tidak ngeblong.
Karena belum memasuki puncak arus mudik, arus lalu-lintas lancar jaya. Berkali-kali Tayu geleng-geleng kepala melihat bus-bus AKAP saling salip dengan kecepatan super modar. Ada celah sedikit saja langsung nyelonong seakan merekalah sang mbaurekso rimba jalan raya. Jangan coba-coba menghalangi, apalagi menandingi mereka kalau tak punya kemampuan membalap ngedhap-edhapi plus berani toh nyowo. Minibus yang kami tumpangi, juga mobil-mobil lain, bagai ayam sayur yang wajib mengalah.
Malam semakin larut. Tak terdengar lagi cengkerama dari jok belakang. Ibu dan para sedulur sudah mendengkur. Pulas. Ngowoh. Suara tuter, deru mesin dan was-wes-wus laju kendaraan tak mengusik tidur mereka. Perjalanan tampaknya sukses membuat mereka capek. Atau, mungkin mereka memilih untuk tidur ketimbang terus-terusan menjadi saksi mata atas kepongahan seliweran lalu-lintas. Adapun saya, yang duduk di samping Tayu, tidak bisa kliep. Jadinya, ya, menemani Tayu ngobrol, udhat-udhut, ngemil. Padahal, kalau nge-bus, saya gampang terlelap. Tentu setelah membaca ayat kursi sebanyak tujuh kali.
Pukul 03.30 WIB kami masuk wilayah Ngawi.
“Sahur, Yu.”
“Ini tak cari pom dulu. Ndak enak makan sambil jalan.”
Saya membangunkan para penumpang di jok belakang.
Kira-kira tujuh menit kemudian, Tayu membelokkan minibus ke sebuah pom bensin yang hanya toiletnya saja yang benderang. Beberapa mobil box tampak parkir di situ. Alunan ayat-ayat suci timbul-tenggelam di kejauhan.
Kami memang tidak makan sahur di warung, depot atau restoran karena sudah nyangu ayam goreng dan nasi bungkus hasil olah dapur ibu dan Bulik Mawa. Seperti itulah tradisi tak tertulis di kampung kami. Pabila pergi berombongan selalu membawa bekal nasi, ketupat atau lontong lengkap dengan lauk-pauknya, lalu makan bersama di perjalanan. Selain memelihara keguyuban, juga bisa mengirit pengeluaran. Setidaknya pengeluaran untuk makan. Lha wong sudah bukan rahasia lagi kalau makan di warung, depot atau restoran acap bikin kecele. Makanan kurang garam saja harganya setinggi awang-awang.
Saat makan, seorang awak mobil box duduk udhat-udhut di dekat kami. Bulik Mawa menawarinya makan, tetapi dia menolak. Basa-basi, Bulik Mawa menanyainya.
“Muat apa, Mas?”
‘Cat, Buk. Dari pabrik mau dikirim ke agen.”
“Ooo. Cat apa, Mas?”
Si awak mobil box meyebutkan merk yang selama ini pasang iklan di tivi.
“Itu berapaan?”
“Nyampek toko bisa 400-450. Tapi kalau Ibuk mau beli di sini, cuma 300. Beli dua 250-an, Buk.”
Bulik Mawa kelihatannya tertarik. Dia mbujuki ibu agar ikut beli sehingga bisa menekan harga. Eh, tanpa pikir panjang, ibu langsung mengiyakan. Kebetulan rumah di Sukoharjo yang ditempattinggali kakak sudah lama tak terjamah pembaruan cat.
“200 ya, Mas? Ini mbakyu saya juga mau beli.”
“Sepurane, Buk, ndak boleh. 250 sudah ngepres. Mepet!”
Akhirnya, ya sudah, Bulik Mawa dan ibu membelinya. Masing-masing satu ember gede, entah berapa kilo tuh. Saya yang tidak mudeng bisnis dan marketing jadi bertanya-tanya. Masuk ke mana uang penjualan catnya? Ke pabrik, agen atau dompet pribadi? Jangan-jangan terjadi kongkalikong tai kingkong di tingkat akar rumput? Ah, embuhlah … sak karepe kono.
Seiring kumandang imsak, minibus jalan lagi. Masih dengan kecepatan sedang. Tetapi, belum begitu jauh meninggalkan pom bensin, Tayu meminggirkan minibus, lalu mematikan mesin.
“Ada apa, Yu?”
“Ndak tau. Cegatan Dishub, nih.”
Tayu keluar dari minibus. Menemui dua orang petugas dengan seragam atasan warna endog bebek. Lalu, masuk lagi mengambil surat-surat kendaraan. Saat Tayu mengambil surat-surat kendaraan, salah satu petugas mendekat dan menempelkan mukanya ke kaca samping, memeriksa isi minibus. Selain para penumpang, ada empat bantal, satu guling, sekardus air mineral dan beberapa kardus kecil berisi oleh-oleh.
Tayu menyerahkan surat-surat kendaraan pada petugas. Terjadi pembicaraan di antara mereka. Tak terlalu jelas.
“Petugasnya minta 100. Katanya karena bawa kasur harus pakai pick-up. Gimana ini?” tanya Tayu sekembali dari menghadap petugas, sambil melemparkan surat-surat kendaraan ke dasbor.
"Kamu bilang saja bantal-guling, bukan kasur,” jawab saya.
Mudik
Foto Korban
Para penumpang di jok belakang menggeremeng. Sementara itu, Tayu balik lagi menghadap petugas. Tak lama, Tayu memasuki minibus, menjebleskan pintu, menghidupkan mesin.
“Gimana?”
“Ndak bisa. Mereka tetep ngotot. Daripada panjang urusannya, tak kasih 70, Par.”
Sejenak, minibus berubah jadi kebun binatang yang segala isinya terlamatkan ke dua orang petugas Dinas Perhubungan itu. Maklum, sebuta-butanya wong ndeso pada pasal-pasal, tetapi masih bisa membedakan mana kasur, mana bantal dan guling. Lagian, kalaupun memang memuat kasur, apa itu termasuk pelanggaran? Kalau iya, kenapa bus dan mobil lain lolos pemeriksaan? Bisa saja kan mereka membawa kasur.
Hmm. Saya pikir, kami ketiban apes. Apes di jalan raya bukan perkara celaka saja, melainkan juga kena sasar oknum-oknum kelaparan. Lalu, saya pikir-pikir lagi kalau petugas-petugas nggapleki itu adalah jelmaan bajang kerek setan alas pilih tanding yang lepas dari belenggu bulan puasa. Sengaja ngaton di depan kami untuk mengetes apakah kami termasuk golongan manusia cinta damai atau manusia pembela kebenaran. Terbukti, kami lebih mencintai kedamaian ketimbang membela kebenaran yang nyata-nyata benar.

Sukoharjo Makmur, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar