Merindukan Ramadhan

PULANG Jum'atan, Tiyono mampir ke rumah karibnya, Jumali. Biasa, ngobrol ngalor ngidul ngetan bali ngulon sambil nyawang keramaian jalan. Dan obrolan kali ini tak meleset dari soal lebaran yang tinggal menghitung hari.
"Dah beli baju lebaran, Nok?"
"Ora, Jum. Lebaran lalu sudah beli. Masih layak pake."
"Sama, Nok. Aku cuma mbeliin ponakan-ponakan thok."
"Aku juga, Jum. Ora ketang mung kaos bal-balan aku yo nukokne ponakan."
"Lebaran itu yang paling seneng cuma para bocah, ya Nok. Kayak ponakan-ponakan kita. Baju, sandal, sarung, peci, celana, semua serba baru. Banyak kuweh. Ke sana ke mari dapat jatah amplop. Kalo kita ya biasa-biasa saja. Habis shalat Id dan keliling maaf-maafan, kalok ndak tidur, ya nongkrong di pinggir jalan."
"Malah lebih enak bulan puasanya, Jum. Gimana gitu rasanya. Biarpun ndak pernah traweh dan ndarus, hari-hari jadi ada seninya."
"Ho'oh, Nok. Habis Ramadhan aku jadi rumongso kelangan. Kalo kamu piye, Nok?"
"Sama, Jum. Kukira bukan cuma aku dan kamu saja yang begitu. Setiap muslim pasti merasa kehilangan dan merindukan Ramadhan."
"Mangkanya aku heran sama spanduk-spanduk itu, Nok."
"Spanduk? Spanduk yang mana, Jum?"
"Itu, spanduk ucapan 'Selamat Merayakan Hari Kemenangan', 'Selamat Merayakan Lebaran' dan sak macemme."
"Weh, rak yo bener to, Jum? Kan habis nahan napsu, nggak makan nggak minum, sebulan penuh. Ibarat berpayah-payah mengikuti Ujian Nasional, akhirnya bisa lulus. Sah-sah saja to kalok kemudian merayakannya."
"Jangan samakan dengan ujian, Nok! Maksudku gini lho, Nok ..."
"Halah ... Kamu itu gampang sinis, Jum."
"Sinis mbahmu, Nok! Dengar dulu ..."
"Piye? Piye?"
"Selesai Ramadhan kan pada kepengin ketemu Ramadhan lagi. Pada kangen sama Ramadhan. Lha mosok ditinggal sesuatu yang bikin kepengin dan bikin kangen kok malah spanduknya begitu. Nyuruh raya-raya, seneng-seneng. Ironi kan! Kesannya aneh bin lucu! Coba kamu ditinggal minggat pacar yang kamu cintai, mesti sedih to? Mesti nangis to, Nok?"
"Ooo, maksudmu umat Islam harus nangis karena Ramadhan sudah lewat? Begitu, Jum?"
"Harusnya begitu bunyi spanduknya, Nok! Berbau-bau tangis kerinduan akan Ramadhan."
"Nggak cocok to, Jum, kalo spanduk lebaran isinya soal menangisi Ramadhan. Mosok 'Selamat Menangisi Kepergian Ramadhan', rak yo wagu, Jum. Kenyataannya juga cuma orang-orang istimewa saja yang sungguh-sungguh bisa begitu."
"Kita ini lebaran kan biasa-biasa saja. Ndak ada seneng-senengnya babar blas!"
"Biasa-biasa saja bukan berarti nggak merayakan, Jum. Caranya saja yang beda."
"Tetap ndak merayakan namanya, Nok!"
"Halah ... Halah ... Jum, Jum ... Memang kamu nangis ditinggal Ramadhan? Habis puasa masih gitu-gitu saja kelakuanmu kok. Mbok coba besok lebaran ada yang nraktir kamu melancong, pasti kamu seneng to? Raya-raya juga to?"
Jumali cengengas-cengenges. "Yo, seneng, Nok, Nok. Rejeki kok ditolak!"
"Kamu itu ... Mau ngirit saja pake bawa-bawa spanduk lebaran, Jum!"
"He-he-he-he ... Jelas ngirit to, Nok. Kalo ndak, habis hura-hura pas lebaran, besoknya aku bisa banyak utang!"
Tiyono garuk-garuk rambut.
"Yen soal ngirit, aku juga ngirit sih. Lha, lebaran, apa-apa mahal, e. Es teh saja jadi empat ribu. Mending di rumah."
"Woooo, jebule ..."
Dua manusia karib itu tertawa bersama-sama. Ngeklek-ngeklek.

Sukoharjo Makmur, 1 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar