Musim Bola 2016

KETIKA saluran tivi yang katanya oke dan belakangan identik dengan mars parpolnya itu mengumumkan waktu tayang pertandingan pembuka Piala Eropa 2016 antara Perancis melawan Rumania, saya dan kawan-kawan menyambut dengan sangat gembira. Sebagai pecandu sepakbola, pertandingan-pertandingan di musim empat tahunan ini tidak mungkin kami lewatkan. Tetapi, kami kemudian saling menanyakan:
"Nonton di mana, nih?"
Tolong maklum kalau kami menanyakan itu. Sebab, kampung kami tidak bisa menangkap sinyal lewat antena UHF. Siang-malam, untuk bisa menikmati siaran tivi kami memakai antena parabola biasa. Meski memakai antena parabola, bukan berarti kami kaya raya lho. Banyak di antara kami yang mesti ngutang atau nyelengi sedikit demi sedikit agar bisa memiliki antena parabola dan tivi. Jadi, ya, mustahil kami berlangganan vision-vision itu. Mending uangnya buat bayar listrik.
Nah, salah satu kelemahan antena parabola tersebut adalah amat pelit menayangkan siaran langsung sepak bola. Saat pemandu acara dan komentator cuap-cuap sih masih bisa kami tonton. Tetapi, begitu hendak kick-off, saluran tivi yang menyiarkannya langsung mengacaknya. Layar televisi mendadak hang, bahkan tak jarang jadi hitam-legam. Kecuali, yak kecuali, pertandingan-pertandingan lokal vs lokal yang membuat kami ngekek-ngekek ples misuh-misuh dan geleng-geleng kepala sepanjang 2×45 menit. Paling banter lokal vs manca yang malah membuka aib betapa pincangnya kualitas persepakbolaan di negeri ini.
Musim Bola 2016
Keadaan waktu pengotak-atikan antena parabola. Pating sledhak, tetapi friendly
Untunglah, Kang Lantip memahami situasi dan kondisi kami meski dia sendiri tidak hobi-hobi amat sama sepak bola. Pengetahuannya tentang sepak bola juga buruk. Saking buruknya, sampai hari ini dia tetap menyebut Chelsea sebagai Jelsi, Pirlo sebagai Firlo, Pantai Gading sebagai Partai Gading, striker sebagai stiker, jika melihat pemain hitam-methisil selalu mengira Sterling, tidak tahu Piala Dunia dan Piala Eropa empat tahun sekali, bahkan dia tidak ngerti kalau Messi berasal dari Argentina.
Begitulah. Setelah melakukan sesi konsultasi dengan seorang teknisi kenalannya, Kang Lantip gembar-gembor kalau antena parabola dan receiver di rumahnya mampu menghadirkan siaran langsung Piala Eropa 2016. Maka, Jum'at (10/06/2016), bakda shalat tarawih, Kang Lantip memanggil dan membayar (cukup mahal) si teknisi untuk mengotak-atik antena parabola dan receiver di rumahnya. Hasilnya, bener-bener tokcer! Kami pun bisa menikmati pertandingan-pertandingan Piala Eropa 2016 lewat saluran tivi Kamboja. Tuh, kan, tivi Kamboja saja tidak ngacak-ngacak, mosok yang sebangsa-senegara ngacak-ngacak.
Biarpun tidak mudheng pada apa yang keluar dari mulut komentator bangsa Khmer itu, no problemo. Malah lebih baik ketimbang "ahay," "jebret," "moger" dan cerocosan-cerocosan lain dari komentator pribumi yang sama sekali tidak mbois. Mata dan telinga kami juga bebas dari polusi mars parpol tak terhafalkan dan dari kuis-kuis mboseni itu. Dan yang pualing penting, kami bisa nonton bareng sambil ngopi, nge-mie, dan ngemil godhogan-gorengan. Semuanya Kang Lantip dan Yu Marnih yang menyediakan. Gratis-tis-tis-tis!
Tampaknya, saluran tivi yang katanya oke dan belakangan identik dengan mars parpolnya itu perlu memahami dan menerapkan resep politik Julio Caesar: panem et circenses, bread and circusses, bread and games, roti dan permainan. Berilah wong cilik makanan, maka mereka akan diam karena kenyang. Berilah wong cilik permainan, biar hatinya sorak-sorak bergembira. Yak, untuk saat ini berilah kami, wong cilik ini, siaran langsung Piala Eropa 2016. Bukan mars dan adegan politis yang bikin sepet mripat dan mbudegi kuping itu.
So, jangan ngaku-ngaku pro wong cilik kalau masih mengacak siaran langsung bal-balan. Jangan pilih kasih ngacak-ngacaknya. Bal-balan itu olah raga yang merakyat. Untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, semahal apapun, mbok yao jangan memikirkan laba saja. Sponsornya sudah bejibun gitu kok. Tetapi, entah ding, wong yang ngacak-ngacak siaran langsung bal-balan itu bukan wong cilik, bukan rakyat.
Eh, ya, ngomong-ngomong, nunut nonton siaran langsung pertandingan-pertandingan Piala Eropa 2016 lewat saluran tivi luar negeri secara gretongan termasuk tindakan kriminal bukan sih? Kalau iya, tolong jangan salahkan kami. Tolong juga jangan laporkan kami ke pihak berwajib. Kalaupun sampeyan sebal, cukup umpat saja kami:
"Dasar kere, maunya gratisan doang!"

Warnet Pelangi, 15 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar