Rebutan Murid

DALAM hitungan hari, tahun pelajaran lama akan berakhir. Bagi yang naik kelas saya ucapkan selamat. Sedangkan bagi yang tinggal kelas tidak perlu sedu-sedan meratapi kegagalan, apalagi sampai membakar raport atau mengobrak-abrik sekolah. Tetaplah berperilaku sopan lagi jantan. Toh, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri di tahun pelajaran baru.
Ngomongin tahun pelajaran baru sama artinya ngomongin penerimaan murid baru. Nah, pada penerimaan murid baru tahun ini, Kang Lantip dan Yu Marnih memutuskan untuk menyekolahkan anak ragil mereka, Rizky Aditya. Tahun ini jagoan mbeling itu berusia tujuh tahun.
"Jadinya Adit mau dimasukin ke mana, Kang?"
"Entah, Par. Aku bingung. Sama-sama perkewuh, nih."
Saya manggut-manggut.
"Lha, SD I, SD II dan MI yang baru berdiri itu sama-sama ngasih seragam dan buku e. Kepala sekolahnya yang ngasih langsung. Perkewuhnya itu, aku kenal baik sama mereka bertiga."
"Sama mbaknya saja, Kang, di SD I. Biar ada yang ngemong."
"Kayak anjing dan kucing gitu kok mau satu SD."
 "Terus gimana, Kang?"
"Tak putuske nanti saja, Par. Terpaksa yang ndak kupilih seragam dan bukunya tak kembaliin. Tapi jelas aku ndak milih SD I."
"Makin mbingungke saja sekolah sekarang ya, Kang."
"Kamu itu kayak ndak tau saja, Par. Sekolah-sekolah sekarang, ya, kayak gitu. Sama-sama cari murid. Mau anaknya pekok, mau keranjingan, ndak ada urusan, yang penting dapat murid."
"Iya, Kang. Tahun kemarin, kepala sekolahku nyuruh tiap guru, kalau bisa, bawa satu murid baru."
"Itu belum seberapa, Par. Sekolah lain malah ada yang ngasih bonus kambing sama calon murid yang mau masuk ke situ. Ada juga yang menghargai per murid barunya 250 ribu."
"Parah, parah ..."
"Memang parah, Par. Yaaah, demi dana bantuan dan tunjangan sertifikasi, Par. Apa lagi coba kalok bukan karna itu? Dua-duanya kan tergantung jumlah murid. Kalok di kota, yang penduduknya padat, ndak jadi soal. Tapi di sini, wong lebih banyak sekolahannya ketimbang muridnya."
"Soal tunjangan sertifikasi sih iya, Kang. Tapi demi dana bantuan mosok sampai segitunya?"
"Lha, buktinya pada rebutan murid gitu kok. Buat apa rebutan murid, ngemis-ngemis murid, kalok ndak ada udang di balik batunya? Ah, kamu ini, masih pura-pura ndak tau saja, Par."
"Dana bantuannya mosok mau dikorupsi, Kang? Jatuhnya kan buat mbangun sekolah juga."
"Embuh kalok itu, Par. Aku ndak mau jawab. Tanya saja sama kasekmu yang mobilnya kinclong itu!"
Saya melihat jam di henpon. 17.10. Sebentar lagi buka puasa.
"Pamit dulu, Kang. Sudah mau buka, nih."
"Buka di sini saja, Par. Mbakyumu lagi beli es campur. Sik, tunggu dulu!"
Kang Lantip tergopoh marani Yu Marnih di warung es campur depan rumah. Barangkali mau nyuruh beli satu plastik lagi untuk saya. Tak lama, tampak Yu Marnih dan Purnama memasuki halaman rumah. Masing-masing menenteng empat dan tiga plastik es campur. Ibu-beranak itu langsung menuju dapur. Kang Lantip kembali duduk di sebelah saya.
"Sik, Par, mbakyumu lagi nyuntaki es ke gelas. Kamu pulang juga nanggung. Tinggal enam menitan kok."
Jadilah hari ini saya berbuka puasa di rumah Kang Lantip. Bersama tuan-nyonya rumah, Cahya, Bulan, Purnama dan Rizky Aditya, sang primadona yang jadi rebutan tiga sekolah itu, saya reriungan menyantap hidangan buka puasa. Ala kadarnya, tetapi nikmat luar biasa.

Kamar Krusek, 9 Juni 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar