Pada Suatu Ketika di Bulan Puasa

SIANG-SIANG di musim kemarau memang menyiksa rasanya. Apalagi sedang melakukan perjalanan dalam keadaan berpuasa. Kulit banjir keringet, kerongkongan kering dan kepala tak mau kalah ikut-ikutan pening. Tubuh-tubuh duduk lemes seperti ban kempes, ndlosor, gepeng mlenyok-mlenyok. Berharap angin semilir, eh, yang datang malah pantulan hawa panas dari aspal.
Deretan warung makan dan bakul es degan di pinggir jalan menggoda imtaq. Otomatis, itu membuat kerongkongan celegukan. Pahit. Air ludah yang kami harap bisa menjadi setitik oase ternyata garing. Mulut pun kelametan kala melihat sopir dan kenek bis kota yang kami carter seenaknya ngemil, ngombe dan ngudhut.
"Jan-jane kita ini ndak papa lho mbatalke puasa."
"Ha kok iso?"
"Elho, kita kan musafir. Halal to ndak puasa?"
"Cocotmu!"
"Weh, rak bener to, Jo?"
"Musafir, musafir, lambemu itu, Jun! Mukafir, iyo! Naik bis gini kok musafir."
"Tapi kan tetep melakukan perjalanan."
"Yang boleh mbatalke poso, musafir yang jalan kaki, ngonthel, naik kuda, naik onta, Jun! Jaraknya juga harus jauh banget. Minimal 80 kilo!"
"Opo yo ngono kui, Jo?"
"Embuh, Jun! Mumet ndasku!"
Debat mini antara Bejo dan Arjuno menjadi bumbu yang makin menegaskan bahwa kami tersiksa. Yak, kata tersiksa memang kerap menjadi dalil legal untuk mokah (membatalkan puasa). Termasuk, pura-pura tersiksa. Padahal, ketika bedug maghrib tiba, segunung sesal menggerogoti relung jiwa. Kendati nyeruput es teler sak gelas gede rasanya juga akan hambar, tak sebahagia dan tak sesumringah mereka yang berbuka pasca menjalankan ibadah puasa.
Setelah mengarungi jalanan yang lumayan macet selama ± tiga jam, sampailah kami di rumah Purwaning, kawan seprogram-seangkatan yang ketiban duka: mbah kakungnya meninggal. Tetapi, prosesi pemakaman ternyata usai sudah. Kami terlambat menunaikan salah satu fardhu kifayah dalam Islam itu.
"Sorry, Ning, telat. Jalan agak macet dan bisnya nggeremet kayak keong," kata Bagong, sang ketua tingkat sekaligus ketua rombongan.
"Ora popo, santai wae," jawab Purwaning, "ayo, ke rumah belakang saja. Leren di sana! Kalian pasti capek. Lapar juga kan?"
Bersama Purwaning, kami menuju tempat yang dimaksud. Halamannya masih cukup ramai. Orang-orang dengan stelan hitam-hitam duduk di kursi, ngobrol, udhat-udhut, ngopi, ngeteh dan satu dua di antara mereka sibuk mencongkel sisa-sisa makanan yang nyelilit di sela gigi dengan batang korek jres. Tentu saja kami merasa heran melihat pemandangan itu. Lha, bulan puasa kok seperti hari-hari biasa saja.
"Wah, priyayi-priyayi Solo, to? Monggo, monggo, pinarak," sambut bapaknya Purwaning.
"Monggo, mas, mbak, mlebet mriki. Ora usah isin-isin! Monggo, monggo," sambung ibunya Purwaning.
Kami segera menyalami bapak-ibu Purwaning. Lalu, memasuki rumah. Di dalam rumah, betapa surpresnya kami melihat nasi, gudeg, sate ayam, rica-rica, gudangan, jangan seger, rempelo-ati masak kecap, es teh, kopi, teh anget, rambak, rempeyek dan berbagai macam kue tradisionil sudah tertata apik di ruang tengah. Kami saling pandang, plonga-plongo seperti wong guoblok. Tak urung, segala macam makanan di depan kami itu memancing kerongkongan untuk celegukan kembali.
"Ini sungguhan nggak sih?" celetuk Ngafifi.
"Ho'oh i. Mosok layatan kayak begini? Poso-poso sisan," sahut Ucik.
Kawan-kawan perempuan cuma bisik-bisik mendapati fenomena deso mowo coro itu. Purwaning tertawa kecil melihat kerut-kerut keheranan di wajah kami.
"Hehehehehe. Di sini, ya, memang begini. Layatan, tapi kemasannya seperti slametan. Ayo, yang mau mokah nggak papa. Nggak usah malu-malu."
"Monggo, sudah biasa di sini. Monggo, ayo, dimakan! Musapir ora popo ora poso," sambung bapaknya Purwaning di ambang pintu.
Kami cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. Arjuno, dengan nada bercanda, mengajak mokah berjamaah. Bukannya setuju, Bejo malah menggajul pahanya. Saat Purwaning keluar, salah seorang dari kami punya inisiatif agar kawan perempuan yang lagi mens saja yang makan-minum. Tetapi, semuanya bersih. Inisitif lain pun muncul: Dwik dan Kodok saja yang makan-minum. Ndilalah keduanya beragama Nasrani.
"Emoh! Aku ndak enak sama kalian," tolak Dwik. Kodok juga menggeleng mantap.
Kami sekali lagi memaksa mereka.
"Kalian gimana to, cah? Orang puasa kok maksa-maksa aku yang ndak puasa. Aku makan-minumnya nanti saja bareng kalian! Nanti rak mau buka bersama di rumah Surati, to?" tegas Dwik.
Pungkas cerita, kami memubadzirkan segala macam kelezatan itu. Terus terang, kami juga malu pada Dwik dan Kodok yang begitu gigih memegang sikap. Ah, tak sadar kami sudah menjadi setan penggoda justru pada saat sedang melakoni ritual berhadiah sorga.
Satu fakta kemudian terkuak. Purwaning ternyata juga sedang puasa. Dia mengakuinya saat ikut kami menuju rumah Surati untuk melaksanakan agenda buka bersama. Pantes, dia keluar saat kami menghadapi dilema itu. Kalau bapak-ibunya, puasa atau tidak, kami tidak menanyakannya.
"Aku rak cuma nuruti kebiasaan kampungku. Perkara kalian mau mokah apa nggak, ya, up to you. Hehehehehe ...." bela Purwaning saat kami mengecrokinya.
(*) Mengenang layatan belasan tahun silam saat kuliah di Solo.

Kamar Krusek, 8 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar