Pembebasan Sandera Abu Sayyaf

DI depan tivi, Kang Lantip dan Gepeng sedang klekaran. Mereka niat mau nonton pertandingan bola edisi Torabika Soccer Championship 2016. Tetapi, setelah ingat papan pergantian pemain yang dari jaman baheula tetap manual bin wolak-walik, ujug-ujug perut mereka jadi mules sehingga mengurungkan niat luhur itu. Kang Lantip kemudian meraih remote control, menepak-nepaknya sebentar, kemudian memencet angka per angka.
"Ah, tipi kok sinetron thok isine. Mboseni!"
Kang Lantip kembali mencari kanal yang mathuk sama seleranya.
"Itu, itu, Kang!" mulut Gepeng tiba-tiba nyamber.
"Oke, oke, Gep, rasah umuk! Aku mudheng."
Duo makhluk Tuhan itu mak gregah, ambil posisi duduk bersila. Organ audio visual mereka awas menthelengi berita tentang bebasnya sodara-sodara sebangsa setanah air dari penyanderaan begundalis-begundalis Abu Sayyaf. Segala macem tentang hal itu tersaji dalam berita, mulai awal penculikan sampai kontroversi pembebasannya apakah pakai tebusan atau tanpa tebusan.
"Menurutmu gimana, Gep?"
"Gimana apanya, Kang?"
"Ya, itu, mereka bebas pake tebusan apa ndak?"
"Piye, yo, Kang? Menurutku nggak penting mikirin itu. Harusnya kita seneng, mensyukuri kebebasan mereka. Kita juga musti berdo'a, mudah-mudahan empat lainnya yang masih disandra Abu Sayap juga cepet bebas."
"Umpomo, ini umpomo lho, ya ... bebasnya ternyata pake tebusan gimana jal?"
"Ya, nggak apa-apa."
"Umpomo duitnya yang buat nebus duitnya negoro?"
"Ya, nggak apa-apa."
"Buathukmu, Gep, Gep. Kok ndak apa-apa terus."
"Lha, aku kudhu piye to, Kang?"
"Ellhoh ... Itu ndak ada anggarannya, Gep. Pake duit negoro, sama saja nyerempet-nyerempet koropsi, sami mawon ngurangi jatah pembangunanmu, as same as negoro kalah sama teroris!"
"Xixixixi ... Njenengan ini, lho, sok politis."
"Politis gundhulmu amoh!"
Gepeng menoleh ke Kang Lantip. Matanya sedikit mendelik.
"Hallah, pokoke aku ikut seneng! Nebus, nggak nebus, ora urusan. Pun andai kata nebus dan negara nggak boleh nebus, paling-paling perusahaannya yang nyonggo. Bukan perusahaannya, ya keluarganya. Bukan keluarganya, pasti rakyat Indonesia. Ingat, kita ini bangsa solider, satu sakit, semua ikut sakit dan rame-rame ngumpulin koin! Mosok buat Abbott mau ngumpulin koin, buat Abu Sayap ogah, rak yo kebangeten."
"..................."
Kang Lantip melongo mendengar kalimat Gepeng yang mulai memperlihatkan kesimpelan jiwa korsaning wong cilik, yang sudah tertata sejak pencernaannya kerasukan micin itu. Kang Lantip menyerah, enggan meneruskan perdebatan meski tahu tak ada pengumpulan koin secara nasional untuk membebaskan sandera Abu Sayyaf. Lagian percuma baku debat dengan orang yang sudah mengeluarkan senjata pamungkas "pokoke."
Tiba-tiba dari kejauhan kedengaran suara tuter motor Viar Pak Sawa'un, si tukang sayur ples-ples yang rutin keliling malam-malam. Kepala Kang Lantip menyala seperti bohlam: muncul ide untuk "mengademkan" Gepeng.
"Sudah, sudah, Gep. Itu Pak Sawa'un dateng. Kamu pengin apa? STMJ apa tahu petis?"
Gepeng yang tanggap akan maksud sohibnya itu langsung nyengir.
"Dua-duanya juga boleh, Kang."
Kang Lantip mendomblekan bibir, kemudian keluar rumah nyegat Pak Sawa'un di pinggir jalan. Langkah-langkah mak gemruduk menyusul dari belakang rumah. Begitu menoleh, istri dan empat anaknya sudah berbaris rapi di sampingnya. Plirak-plirik, senyam-senyum penuh arti pada sang kepala keluarga. Padahal, sebelum mendengar tulat tulit tulat tulit tanda-tanda kedatangan Pak Sawa'un, mereka asyik leyeh-leyeh sambil ndongeng di lincak belakang rumah.
"Wah, wah, kalo ini sih rombongan Abu Rayap," gerutu Kang Lantip sambil geleng-geleng kepala. Ngalamat dompetnya akan terkuras.

Kamar Krusek, 2 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar