Fanatisme

D’ACADEMY.
Baik yang menyebali maupun yang menggandrungi, saya yakin pada setubuh kalau saya menyebutkan bahwa D'Academy adalah pemegang durasi terlama untuk kategori kontes pencarian bakat di tivi. Kebangetan kalau Museum Rekor Indonesia (MURI) tidak memasukkan karya anak bangsa ini ke dalam book of record-nya.
Perlu diketahui, saya tidak termasuk ke dalam golongan sebal atau gandrung. Gimana mau sebal atau gandrung, wong saya tidak pernah nonton. Saya cuma mendengar tentang kehebohan D’Academy dari orang-orang di sekitar saya. Termasuk, Yu Marnih.
Sebenarnya, Yu Marnih bukan jenis makhluk penggila dangdut. Sudah tahunan saya setia nongkrong di rumah Kang Lantip, tak sekalipun saya melihat Yu Marnih nonton dangdutan. Tak pernah saya mendengar sigaran nyowo Kang Lantip itu mendendangkan lagu dangdut. Kartu memori HP-nya pun hanya berisi lagu-lagu pop dan foto-foto anak-anaknya.
Satu hal yang menambah keyakinan saya bahwa Yu Marnih bukan jenis makhluk penggila dangdut adalah waktu D’Academy 1 berlangsung, dia tidak pernah nonton. Tetapi, D’Academy 2 membuat Yu Marnih berubah. Sejak awal acara sampai tuntas tengah malam, remote tivi erat dalam genggamannya. Jangan coba-coba mengusiknya. Kang Lantip minta kopi saja tidak digubris. Tak pelak, Kang Lantip jengkel. Dia sembunyikan batere remote, dia hapus channel Indosiar dan apa yang terjadi kemudian? Yu Marnih murka. Perang mulut tak tehindarkan. Hasil akhirnya, Kang Lantip mengalah.
"Gara-gara Irwan mbakyumu itu nganyelke tenan, Par. Maghrib-maghrib sudah nungguin Academy. Tiap hari ngomongin Irwan. Suara tipi kencengnya juga ora umum. Dan yang bikin aku tambah anyel, Irwan nangis, dia ikut nangis. Saipul Jamil ngennyek Irwan, dia misuh-misuh. Ndak enak didengar tonggo, e."
"Bukan cuma Yu Marnih, Kang. Semua ibuk-ibuk di sini juga gitu. Nggak di pasar, nggak di rumah, selalu ngomongin Irwan."
"Ho'oh, Par. Heran aku. Tampang biasa saja, suara juga ndak bagus-bagus amat."
"Itu kan menurut sampeyan, Kang."
"Iyo, sih. Apa karna dia orang Sumenep ya, Par? Jadi panatik gitu."
"Mungkin, Kang. Tapi kita kok nggak ya, Kang? Padahal kita Sumenep juga."
"Panatik ndak mesti pukul rata, Par. Kayak suporter bal-balan itu. Ndak semua orang Malang melu-melu Aremania. Begitu juga ndak semua Bonek sepakat untuk menthungi motor dan mobil plat N."
Yak, masuk akal apa kata Kang Lantip. Yu Marnih nonton D'Academy 2 karena Irwan. Menggandrungi Irwan karena alasan satu tanah kelahiran. Jadi, ketika Irwan tampil, dia tidak sekedar melihat tampang dan mendengarkan suara Irwan saja. Lebih dari itu, dia melihat tanah kelahirannya sedang bertanding melawan daerah-daerah lain. Dengan demikian, dia pasti menginginkan tanah kelahirannya jadi pemenang, sementara daerah-daerah lain jadi pecundang.
Apa bisa fanatisme muncul sesederhana itu? Maybe yes, maybe no. Tergantung pola nalar seseorang. Kalau nalarnya tidak mau ruwet, apa yang sekiranya menarik dan mewakili dirinya, jadilah dia punya fanatisme. Nah, Yu Marnih sama persis dengan mertua saya. Ketika saya tanya kenapa beliau memilih dan mati-matian menyanjung Pak SBY, jawabannya sangat ecek-ecek: "Podo-podo wong Pacitan!" Sederhana kan?
Sehubungan dengan fanatisme tersebut, lain hari Kang Lantip juga cerita:
"Ini lagi, Par. Gara-gara Irwan, aku dengar kabar tukang becak mekso penumpangnya turun setelah tahu kalau penumpangnya orang Banyuwangi. Terus, ada istri minta cerai gara-gara suaminya ndak mau ngirim SMS dukungan buat Irwan. Kata si istri, suaminya sama saja ndak ndukung Sumenep. Panatik tenan to, Par, kalo gitu?"
Dan sekarang Yu Marnih ogah nonton D'Academy 3. Gegojekan Ramzi, Irfan Hakim, Rina Nose, dan Gunarso tak menarik animonya. Dia juga tak pernah lagi seseruan ngobrolin Irwan bersama ibuk-ibuk tetangga. Irwan bukan Irwan Sumenep lagi, melainkan Irwan D'Academy. Kalaupun ada yang seru, ya, hanya kasus layak sensor Saipul jamil itu.
"Mamah, ini lho ada D'Academy 3! Nonton ndak?" teriak Kang Lantip yang sedang pencat-pencet remote.
"Ndak, Pah! Ndak ada yang dari Sumenep, males aku!" balas Yu Marnih tak kalah banter. Dari tadi dia sibuk nggodhok kacang di dapur untuk nyamikan kroni-kroni sang suami yang sebentar lagi datang.
Fanatik! Panatik!

Mengurai ingatan di rumah Kang Lantip, 30 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar