Soal Penertiban Palu Arit

BARU-BARU ini Indonesia dihebohkan oleh isu kebangkitan kominis menyusul penemuan palu-arit yang nempel di baju, stiker, bendera dan tembok. Oleh karena itu, pemerintah melakukan penertiban. Istilah British-nya, sweeping. Mulai bakul kaos sampai pemutaran film dokumenter pun kena sweeping. 
Tindakan tersebut kemudian memunculkan penolakan. Sama gambar palu-arit kok takut, kira-kira demikian alasan penolakannya. Beberapa artikel yang saya baca malah menyampaikan penolakannya dengan cara yang kocak.
Terus terang, saya nggak takut blas sama palu-arit. Saya cukup akrab dengan dua benda bikinan pande besi itu. Untuk palu, saya tahu persis macam-macam ukurannya karena bertetangga dengan tukang batu dan tukang perahu. Palu-palu di kaos, stiker, bendera dan tembok itu nggak ada apa-apanya lho dibanding kepunyaan tetangga saya. Lalu, untuk arit, saya sudah bloke'en. Mulai arit yang buat ngarit sampai celurit penghabisan sering saya jamah, bahkan pernah saya gunakan untuk membantai pohon pisang.
Tetapi, saya juga tidak menyalahkan, apalagi ngece pemerintah atas tindakan penertiban, sweeping, razia, represif atau apapun namanya itu. Kenapa? Berikut alasan saya:
1.Kominis adalah hantu. Saya ngomong begitu cuma menirukan ucapan Karl Marx, orang yang me-launching Das Manifest der Kommunistischen Partei pada 21 Februari 1848. Dia bilang, "Ada hantu sedang merayap di Eropa, hantu komunisme." Sekali lagi, hantu! Hantunya, hantu Eropa sehingga memang pantas jika ditertibkan dan dideportasi ke Eropa. Kalau dibiarkan merayap di Indonesia, sungguh kasihan pocong, sundel bolong, gendruwo dan hantu-hantu lokal lainnya. Ikatan primordial, kearifan budaya dan eksistensi mereka bisa terancam. Dukun, paranormal dan tukang suwuk pun bisa repot sebab mesti kursus bahasa-bahasa bangsa Eropa, minimal Inggris, Jerman dan Perancis.
Jadi, para penolak sebaiknya menumpukan kesalahan pada Karl Marx. Andai dia tidak menyebut komunisme sebagai hantu, barangkali sikon akan adem ayem saja.
2.Belum lama ini ada kasus di mana Pak Saut Situmorang, humas KPK, bersitegang dengan sebuah organisasi mahasiswa (mungkin terbesar) di negeri ini gara-gara kecethit lidah. Saking geramnya, mahasiswa-mahasiswa anggota organisasi tersebut menggeruduk kantor KPK, teriak-teriak, corat-coret. Nah, dalam salah satu teriakan dan coretan tersebut terdapat kata "Saut PKI."
Tuh, lihat! Kaum intelektual saja berani menuding orang sebagai PKI walau tak ada bukti yang mendasarinya. Apalagi pemerintah, yang jelas-jelas menemukan kaos, stiker, bendera dan tembok cap palu-arit. Kaprah to kalau pemerintah kemudian menertibkannya. Ada bukti, lho!
3.Saya yakin sampeyan masih ingat jika di masa-masa kampanye Pilpres 2014 beredar tuduhan ngawur bahwa Pak Jokowi adalah kominis. Artinya sudah jelas, si penuduh ingin mengatakan pada rakyat bahwa seorang kominis nggak pantes jadi presiden, pemegang tampuk pemerintahan, di Indonesia. Tetapi, ndilalah Pak Jokowi yang jadi presiden. Maka, wajar dong pemerintah terpilih menertibkan segala macem yang berbau kominis guna menyangkal tuduhan itu. Kalau tidak, wah … gawat! Bisa-bisa si penuduh akan menilai pemerintah nggak becus kerja dan makin edan-edanan melempar tuduhan kominis.
4.Beberapa hari lalu saya membaca artikel. Isinya tentang ketidaksetujuan penulis pada penertiban hal-hal terkait kominisme oleh pemerintah. Grammar-nya nyentrik lagi simpel sehingga mudah untuk saya cerna. Tetapi, menurut saya si penulis terlalu tinggi menjunjung kebebasan berekspresi sehingga melakukan kesalahan fatal dengan menulis “komunisme adalah ideologi usang yang tak perlu ditakuti lagi.” Boleh jadi pemerintah, juga atas nama kebebasan berekspresi, kemudian memplesetkannya: “komunisme adalah ideologi usang yang tak perlu dipakai lagi.” Dari sekedar memplesetkan kalimat, kemungkinan pemerintah akhirnya merasa barang yang sudah usang itu betul-betul nyepeti-nyepeti mripat sehingga harus membuangnya jauuuuuuuh ... jauuuuuuh ... darimu.
5.Tahu stiker "Piye kabare? Isih penak jamanku, to?" kan? Sadar atau tidak,  kalimat tersebut bukan kalimat tanya biasa, melainkan penegasan bahwa jaman Pak Harto, yang di dalam stiker itu lagi mesem sambil dada-dada, lebih enak ketimbang jaman sesudah beliau. Saking massalnya stiker itu, saya pikir pemerintah sekarang menganggapnya sebagai aspirasi rakyat. Aspirasi yang merindukan jaman yang se-penak jaman Pak Harto. Nah, nah, demi mewujudkan aspirasi tersebut, maka pemerintah sekarang lantas mengadopsi kebijakan paling populer dan paling merakyat The Smiling General, yakni menertibkan segala macem yang kominis dan kekiwo-kiwoan. Gimana, sekarang sudah se-penak jaman beliau, bukan?
Demikian alasan-alasan saya. Sampeyan mau baca boleh, mau komentar boleh, mau bagi-bagi juga boleh. Dan sebelum saya akhiri postingan yang tidak terjamin mutunya ini, saya mau menyampaikan pesan pada siapa saja yang masih keblinger nggaya make atribut palu-arit:
"Banyak-banyakin ngarit dan nuthuki paku atau batu sampek tangan sampeyan mlocot dan kapalen. Sering-seringlah pula makan genjer. Biar tambah apdol setil sampeyan!"
Sekian.
Eh, sik, sik. Bagi sampeyan yang kidal, awas, hati-hati! Sebab, bisa-bisa sampeyan dicap kaum kiri. Sebaiknya, mulai detik ini, biasakanlah pake tangan kanan.

Kamar Krusek, 13 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar