Bakar Iwak Bandeng

"BAKAR bandengnya besok Minggu, Bro!"
Ucapan Beka terdengar amat sangat delicious. Betapa tidak. Sudah lama saya, Obet, Plengeh, Mol dan Mbon ngidam bandeng gratisan origin kolamnya Beka. Kolam itu sebenarnya ladang garam. Hanya saja, karena lagi musim hujan, maka ladang asin itu memerankan kolam pemeliharaan bandeng. Desa tempat tinggal Beka sendiri merupakan salah satu sentra pendulangan garam di Madura sejak jaman Hindia Belanda.
Bakar Iwak Bandeng
So, Minggu (08/05/2016), kami pun bergeronjal-geronjal riang naik motor menuju rumah Beka. Saya katakan begitu karena jalannya memang nggak mulus blas. Aspalnya krowak, berlubang, di sana-sini. Selain itu, juga sempit. Di kanan-kiri terdapat petak-petak ladang garam. Sejauh mata memandang, tak ada hamparan ijo royo-royo. Kambing-kambing ceking keluyuran mencari rumput barang sejumput dua jumput.
Bakar Iwak Bandeng
Ketika hampir sampai, kami melewati bangunan kuno. Modelnya khas dan temboknya masih cukup kokoh. Saya rasa bangunan tersebut merupakan salah satu peninggalan Zoutregie, dinas yang melaksanakan monopoli garam di bawah naungan Governementsbedriven. Pemerintah Hindia Belanda waktu itu juga memandang monopoli garam sebagai bagian dari pelayanan kerja, semacam cultuurdiensten yang ada di Jawa.
Bakar Iwak Bandeng
Usai menyuguhi kami apem, Beka yang sudah siap dengan jala dan kantong wadah ikan, mengajak kami ke zona perburuan. Jaraknya lumayan jauh dari rumah Beka. Jalan kaki, menapaki pematang-pematang ladang garam yang rata-rata lagi memainkan peran sebagai kolam bandeng. Beberapa ada yang ditancepi ranting-ranting bambu. Kata Beka, untuk mencegah penjalaan atau penjaringan tanpa hak. Kalau malem si pemilik juga menjaganya. Tetapi, milik Beka dibiarkan begitu saja. Plong-plongan saja. Soal rejeki, Gusti Allah sudah menatanya.
Perburuan pun mulai!
Bakar Iwak Bandeng
Bakar Iwak Bandeng
Dari enam nyawa, Beka-lah yang paling banyak pegang job. Sedangkan saya, Obet, Plengeh, Mol dan Mbon sekedar nyemplung, ngobok-ngobok air dan mewadahi tangkapan saja. Habis, hanya Beka yang bisa melempar jala. Saat saya mencoba keterampilan tersebut, tentu dengan mengikuti tutorial singkat dari sang pelempar jala maut, jala enggan mengembang. Begitu mak plung, mak byur, jala tetap kuncup. Bukannya dapat ikan, jala malah klomoh oleh lumpur. Ternyata, teori saja nggak cukup. Perlu kontinyuitas praktikum.
Bakar Iwak Bandeng
Sejam kemudian, kami sudahi perburuan. Kami tak sanggup lagi melawan cuaca. Biar kata waktu masih pagi, panasnya betul-betul aduh mbiyung. Lagipula, dua kantong bandeng sudah berhasil kami amankan (dua di antaranya sebesar betis). Sesampai di rumah Beka, kami langsung mbetheti ikan-ikan malang tersebut. Dengan taktis dan tanpa belas kasihan, kami mengeluarkan jeroan mereka. Tak sampai setengah jam, seluruh ikan bandeng pun berhasil kami betheti.
Perkara ikan selesai. Untuk urusan alat, seperti penampang bakaran, arang, kipas, dan lain-lain jadi urusan mBak Ida, mbakyunya Beka. Beliau juga yang ngurusi nasi, ngeracik bumbu oles dan ngulek sambelnya. Tugas lanjutan kami adalah membakar ikan hingga mateng sembari mengendus-endus aroma dan menahan iler yang berebutan kepengin ndleweran. Tangan pun tak sabar untuk mencuil daging bandeng.
Bakar Iwak Bandeng
Acara bakar-membakar iwak bandeng akhirnya bisa terlaksana dengan sakses. Kami menyergap bandeng-bandeng bakar yang sangat menggelitik napsu carnivora itu. Rasanya? Walaupun sambelnya embyeh-embyeh alias hanya sambel kecap, tentu saja tetap luar binasa sedapnya. Saking sedapnya, nasi sak gunung cething pun ludes. Tak hanya itu, sisa bandeng bakar tak kami biarkan saja; kami ganyang sambil mengudap krupuk yang terbuat dari bandeng rabet (jenis bandeng yang bersifat predator bagi udang dan bandeng yang kami mangsa). Sungguh, kami seperti orang ketempelan jin laut paling gragas.
Oh, ya. Sekedar saran, bagi sampeyan yang mau bakar-bakaran bandeng, pilihlah bandeng ukuran M dan L. Sebab, daging bandeng ukuran XL dan XXL rasanya kurang legit. Matengnya juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Tetapi, tergantung selera sampeyan ding.
Alhamdulillah. Matur sembah nuwun buat Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi. Dalam kondisi kantong cekak ternyata kami masih bisa menikmati hidup. Gayeng bersama, mbakar bandeng bersama. Yak, acara mbakar bandeng ini sekaligus juga jadi pelipur yang cesspleng saat sedang menunggu honor sukwan yang sudah dua bulan tak kunjung keluar. Kami pun tak perlu protes sambil membakar ban bekas, apalagi membakar bendera dan foto presiden sendiri.

Kamar Krusek, 8 Mei 2016

1 komentar: