Kapitalis Sawo Mateng

TIBA di rumah Kang Lantip saya lihat Gepeng berbaring di atas tikar lusuh dan sedang serius menikmati kesemokan body artis-artis sinetron Asisten Rumah Tangga. Di sampingnya, Anduk juga berbaring dengan mata yang sudah merem. Tepat di belakang mereka, Kang Lantip, Mudji dan Gamblis duduk di kursi masing-masing, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya teronggok tiga cangkir kopi serta nampan karet yang sudah kosong dan berminyak.
"Kok malem, Par? Ada kerjaan?" seru Kang Lantip melihat kedatangan saya. Mudji dan Gamblis sibuk ngobrol.
"Iyo, Kang. Ngedit poto teman buat kawinan," jawab saya.
"Iki kopine," Kang Lantip menunjuk cangkir kopinya, "tak bikinin po?"
"Ora, ora, Kang! Itu saja, join sama kamu."
Saya pun meminum kopi dari cangkir Kang Lantip. Sudah dingin. Lalu, saya menyulut sigaret, mengelepuskan asap pertama dan berbaring di samping Anduk. Gepeng menyodorkan bantal saat kepala saya hampir menyentuh permukaan tikar. Dengan posisi yang melenakan boyok, saya ikut-ikutan menikmati kesemokan body artis-artis sinetron Asisten Rumah Tangga. Tetapi kuping ... ah, dasar kuping tak tahu tata-atur ... malah nguping obrolan Mudji dan Gamblis. Tak ayal, mata pun terpancing untuk mencuri-curi pandang.
"Aku kok gak percaya sama mereka-mereka yang buka warung di Jakarta itu. Cerita labanya gede, tapi kendaraannya, rumahnya, masih begitu-begitu saja," kata Mudji dengan mata lebar dan tampang acak-acakan.
"Iyo, yo. Bilangnya sebulan dapet belasan juta. Harusnya, paling ndak mereka beli mobil dong. Mustahil punya duit banyak ndak mau nggaya," tanggap Gamblis dengan tampang yang tak kalah acak-acakan.
Kang Lantip cuma senyam-senyum. Saya diam saja, males untuk nimbrung.
Berawal dari mendengar kesuksesan orang-orang sesuku, empat lima tahun terakhir ini, beberapa warga di kampung saya kesemsem mboro ke Jakarta untuk membuka warung. Modalnya, hasil penjualan harta benda, seperti tanah, perahu dan kendaraan. Ada juga yang minjam sana-sini. Yang nggak gablek modal, menjaga warung milik kenalan atau kenalannya kenalan. Kisah-kisah tentang jerih payah mereka kemudian silih berganti menggetoktulari seantero kampung. Entah betulan, entah kembang lambe saja.
"Kalo dipikir-pikir, masih enakan kowe, Blis. Ternak ayam, tiap hari jualan telor, tidur gak desak-desakan, gak perlu melek siang-malem, makan juga teratur."
"Hehehehe ... Makanya aku sama sekali ndak kepengin ke Jakarta. Cari duit kok susah-susah di desa orang!"
"Tul! Cocok kamu itu!"
"Aslinya, di sini juga prospek, lho! Tinggal pinter-pinternya kita saja."
"Ho oh, Blis. Lha, itu, sapa itu ... mase Nawi ..."
"Giarto? Kenapa?"
"Yo, Giarto! Pulang kerja dari Saudi, selain nerusin usaha agen sembako bapaknya, dia juga bikin pom mini. Modelnya persis pom-nya Pertamina. Terus, Budbud kabarnya juga mau bikin di desa tetangga."
"Waaaahhh ... Josss dong, ndak pake botol-botol Topi Miring lagi."
"Persis pom lah! Beli tiga ribu bisa, lima ribu bisa. Makanya, sekarang pada beli di Giarto. Laris!"
"Cuma kasihan yang jual bensin eceran. Kayak Sarmis dan Miyatun. Mereka sekarang sepi," sergah Kang Lantip.
"Gak masalah, Kang! Namanya juga persaingan. Salah sendiri modalnya kecil!" balas Mudji, si pengangguran anti rekoso, dengan lugas.
Gamblis tertawa kecil usai menyeruput kopinya. Sebatang sigaret nangkring di bibirnya, siap disulut. Tetapi, mendadak seperti ada yang menyentaknya sehingga urung memantik korek.
"Sik, sik. Ngomong-ngomong, tonggomu mau bikin apa itu, Dji?"
"Ooooh ... Si Bakri, to? Mau bikin minimarket, Blis!"
"Ckckckckck ... Jiaaan, elok tenan! Bisnis besinya lancar, punya minimarket lagi. Elok, elok!"
"Tambah elok kalo yang njaga minimarketnya cewek! Huahahahaha."
"Lha, yo kui yang bikin rame! Hahahahaha."
Kang Lantip juga ngakak sampai terbatuk-batuk. Sepertinya dia ngakak untuk nglegani Mudji dan Gamblis, dua vokalis perekonomian kampung itu.
Saya sendiri baru tahu kalo Bakri akan mendirikan minimarket. Bangunannya masih dalam proses. Melihat ukurannya sih, sepertinya bakalan komplit banget isinya. Sepertinya bakalan rame. Bayangkan saja, di kampung ada minimarket. Keren, kan? Orang kampung mana yang nggak mau kelihatan keren? Begitu nyodorin duit ke kasir, langsung keluar struk belanjaan. Kreket ... kreket ... modern ... kreket ... kreket ... kota ... kreket ... kreket ... gaya.
Hmm ... entah gimana nasib warung-warung kecil sekitar, milik Sarmis, Miyatun, Masiyah, Arjumi dan Mak Ntun nanti. Wong belum ada minimarket saja mereka sudah prihatin.
Percakapan tersebut mengingatkan saya pada perdebatan di suatu forum tentang prediksi, isu dan gosip akan kehadiran kapitalis asing di Indonesia. Seru! Makin seru kala melibatkan dua kubu bijak bestari yang hobi serempet-serempetan. Kubu yang satu tidak mempersoalkan kehadiran kapitalis asing karena sudah lazim di era pasar bebas dan bisa membuka banyak lowongan pekerjaan. Sebaliknya, bagi kubu yang lain, kehadiran orang-orang manca itu akan merugikan usaha-usaha wong cilik dan membuat inlander selamanya sebagai jongos. Yang satu mbelo pemerintah, yang lainnya ngelek-ngelek pemerintah.
Saking serunya perdebatan, terlupakanlah bahwa ada kapitalis-kapitalis sawo mateng yang menggencet sesama sawo mateng. Terlupakanlah bahwa ada Giarto dan Bakri yang menghempaskan Sarmis, Miyatun, Masiyah, Arjumi dan Mak Ntun. Terlupakanlah bahwa tak ada toleransi dalam pasar bebas. Terrrr ....

Kamar Krusek, 16 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar