Kebanggaan

LAGI spanneng-spannengnya membuat brosur pendaftaran murid baru, tiba-tiba Beka mak pethungul di belakang saya.
"Belum kelar, Par?"
"Ini bikin baru, Bek."
"Yang kemarin?"
"Nggak cocok. Makanya mrintah bikin lagi."
"Weh, piye to Pak Kasek itu?"
"Embuh!"
"Kamu minta saja dia buat oret-oretan dulu di kertas, jadi kamu tinggal ngelukis di potosop."
"Sudah, Beeeeek. Yang kemarin sudah gitu. Modelnya, tata letaknya, ukurannya, warnanya, dia yang nggambar sendiri di kertas!"
Beka mengerutkan dahi. Saya menyungutkan mulut.
"Lha, kok belum cocok?"
Saya menggerakkan kursor, menampilkan foto Pak Kasek yang berjalan sejajar dengan Pak Bupati di depan beberapa pejabat kabupaten. Foto tersebut dijepret tahun kemarin, saat Pak Bupati dan beberapa pejabat kabupaten mengunjungi sekolah kami untuk nyangoni salah satu murid yang akan berlaga di olimpiade sains tingkat nasional. Waktu itu, makanan limpah-ruah, komplit dan enak-enak. Murid-murid, guru dan pegawai TU berbaris menyambut sebelum kemudian berebut salam dan cium tangan Pak Bupati. Tetabuhan gamelan mendayu-dayu. Dana sekolah terkuras demi formalitas yang hanya berlangsung selama dua jam saja.
Beka langsung paham maksud saya.
 "Oalaaaaah ... Itu, to? Mbok kemarin sekalian poto itu dipasang. Jadi kamu ndak repot lagi."
"Asem, kok nyalahin aku sih? Ceritanya, tadi pas aku kasih lihat brosur yang kemarin, dia nyuruh aku copas poto ini dari laptopnya. Kemarin dia nggak bawa laptop. Terus dia bikin sketsa baru lagi. Pokoke poto ini wajib tampil di brosur, katanya."
Saya menggoreskan pentool di layar Photoshop, membangun shape-shape warna-warni sesuai perintah Pak Kasek. Hari ini harus rampung.
"Apa bagusnya to cuma poto seperti itu?"
"Rak yo bangga bisa mlaku bareng Pak Bupati, Bek. Bupati, lho, Bek, bupati! Kesempatan langka!"
Beka nyengir seperti kuda kelaparan.
"Tak pikir-pikir, aslinya kita salah kaprah, Par."
"Kamsudmu?"
"Soal bangga bisa bareng Pak Bupati itu, Par. Seharusnya Pak Bupati, dong, yang bangga bisa jalan dan ngumpul bareng rakyat. Yang nyoblos dan ngangkat dia kan rakyat. Istilahnya, rakyat bos, dia babunya. Di mana-mana, pasti babu yang pengen dekat sama bosnya."
"Terus?"
"Kalok Pak Bupati ngunjungi rakyat, ya, ndak perlu nyiapin makanan, ndak usah rebutan salaman, ndak penting nanggap gamelan. Biasa sajalah. Mosok bos ngladeni babunya? Ndak fair, dong!"
"Babu-babu bathukmu nyonyor! Kedengeran Pak Bupati, kamu bisa out."
Beka tertawa.
"Out ke mana to, Par, wong aku cuma honorer. Out juga bukan kiamat! Kan aku punya tambak garam."
"Sudah, sudah, jangan ndemimil wae! Ini nggak rampung-rampung nanti."
Beka lagi-lagi tertawa sebelum enyah dari kesibukan saya. Entah apa yang dia tertawakan.
Akhirnya, brosur selesai saya kerjakan. Tentu, sesuai dengan sketsa made in Pak Kasek. Setelah mencetak brosur (sebagai contoh jadi) dan mematikan laptop, saya bergegas menghadap Pak Kasek di ruangannya. Pak Kasek pun segera membolak-balik brosur. Saya mulai gelisah, khawatir ada yang kurang, tidak cocok lagi.
"Ini jangan taruh bawah. Taruh paling atas! Besarnya juga kurang, belum jelas kelihatan."
Nah, lho. Kekhawatiran saya terbukti.
"Yang mana, Pak?"
"Ini!"
Pak Kasek menunjuk foto kebanggaannya yang sudah mapan di brosur. Foto tersebut juga terpajang manis di dinding ruangannya dengan frame ukiran berwarna emas, tepat di bawah gambar tiga simbol kenegaraan (Garuda Pancasila, Presiden dan Wakil Presiden). Tampak Pak Kasek tersenyum bungah, sedangkan roman muka Pak Bupati datar-datar saja.
"Ini sudah fix sama sketsa bapak, lho."
Saya merogoh saku kemeja. Mengambil sketsa brosur, lalu menyerahkannya pada Pak Kasek. Pak Kasek melihatnya. Suara kertas tersentil mendadak seperti linggis yang menusuk liang kuping saya.
"Ganti! Foto-foto siswa di perpus dan di lab ini delete saja untuk space foto saya dan Pak Bupati. Ingat, ukurannya harus paling besar! Jangan lupa beri tulisan nama saya dan nama Pak Bupati, lengkap dengan titelnya!"
Pak Kasek kemudian ngurek-ngurek kertas. Membuat sketsa brosur lagi. Saya hanya bisa menelan ludah. Kebanggaan Pak Kasek akan foto dirinya bersama Pak Bupati membuat saya betul-betul seperti mainan, seperti babu, jongos, yang tak punya pilihan selain yes sir. Sambil ngedumel dalam hati saya keluar dari ruangan Pak Kasek yang full AC itu. Tentu dengan membawa sketsa brosur terbaru.
"Eh, Pak Par, Pak Par! Pak Bupati sekarang sudah doktor. DR-nya kapital!"
Saya menjawab tanpa menoleh.
"Inggiiihhh, Paaak!"

Rumah Kang Lantip, 24 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar