Cocotan Tentang Puasa, H-7 dan H+7

TAK terasa sebentar lagi bulan puasa. Sejak tahun dal orang-orang menyebutnya sebagai bulan penuh berkah di mana pahala segala amal ibadah jadi lipat ganda. Jangankan tarawih, tadarus dan iktikaf, bobok siang saja memperoleh ganjaran pahala. Maka, bagi yang males tarawih, tadarus dan iktikaf cukup pakai ilmunya mBah Surip: banguuuuuun, tid-dur lagi!
Sependek ingatan saya, sebuah fenomena yang terjadi di setiap awal bulan puasa adalah boleh tidak warung makan buka siang hari. Yang membolehkan punya alasan si pemilik warung makan butuh nafkah, sedangkan yang tidak membolehkan punya alasan warung makan adalah salah satu godaan yang tidak menghormati para pelaku ibadah puasa. Demi melestarikan bhinneka tunggal ika, lantas muncul inisiatif warung makan boleh buka asal semi tertutup.
Sungguh heran, kok bisa-bisanya masalah sak upil itu bisa jadi bahan laten debat kusir. Mbok mikir yang simpel-simpel saja. Yang puasa tidak usah ngoyo cari penghormatan (memangnya bendera?). Namanya puasa, ibadah, pasti tak luput dari godaan. Justru ganjaran pahalanya berasal dari kemampuan menahan dan melepaskan diri dari godaan kan. Tetapi, yang tidak puasa juga jangan kemaki dan kemlinthi. Silahkan makan, minum dan udhat-udhut asal niatnya tulus ikhlas untuk ngisi perut dan ngobati cangkem yang kecut. Artinya, tanpa ada niat untuk ngece bin mingin-mingini binti mrovokatori orang yang puasa.
Semoga tahun ini pakar-pakar debat kusir tidak mempersoalkan hal itu lagi sehingga bulan puasa benar-benar bebas dari ontran-ontran. Kalau masih kebelet adu argumen, cari topik lain yang lebih pantes. Misalnya, es dawet terenak untuk buka puasa adalah yang pakai dawet tanpa es atau yang pakai es tanpa dawet.
Selain sebagai bulan penuh berkah, ada juga yang menyebut bulan puasa sebagai bulan untuk melatih kepekaan sosial (baca: keprihatinan). Biar si kaya merasakan kefakiran si miskin, biar si kenyang merasakan kriuk perut si lapar. Tetapi faktanya? Menurut saya sih, no! Malah lebih tampak ngece mereka yang miskin dan sepanjang tahun berkutat dengan lapar. Coba lihat, begitu bedug maghrib duk druk duk duk, atas nama sunnah "berbukalah dengan yang manis-manis", es dawet, es setrup, es cao, klepon, getuk, onde-onde, pentol bakso, kolak, gedang goreng, tahu susur, pastel dan nasi lengkap dengan lauk-pauknya tersaji mentereng di atas meja makan. Semuanya pun tandas untuk buka puasa. Tidak sampai di situ saja, mau berangkat tarawih ngemil dulu, pulang tarawih e e e e e masih ngembat makanan lagi. Belum sahurnya kepengin anu dan anu. Pokoknya, gragas tidak masalah, yang penting besok kuat puasanya. Jadi, jangan surpres kalau lepas bulan puasa pada bilang, "Habis puasa aku kok tambah gendut, ya?"
Barangkali perilaku konsumeristik saat puasa tersebut yang mengakibatkan naiknya harga-harga. Buktinya, iwak pitik dan iwak sapi mesti naik harganya setiap bulan puasa, terutama menjelang lebaran. Ujung-ujungnya, ongkos mudik juga ikut-ikutan naik.
Terkait dengan mudik, bulik saya bilang, "Ora mulih, ora bakdhan karo sedulur. Mulih, ongkos bis mundak." Sebagai pedagang gurem di perantauan, saya rasa wajar dia bilang begitu. Celengannya selama 11 bulan bisa habis hanya untuk ongkos saja (belum untuk oleh-oleh, belum untuk mitrahi keponakan-keponakan). Lha, H-7 sampai H+7 ongkos odong-odong sampai ongkos bis gila-gilaan je. Yak, bagi kendaraan umum lebaran tak lebih dari ladang meraup untung sebanyak-banyaknya. Apalagi, yang narik ongkos orangnya seculas setan, wadaw, wadaw ... bisa sampai seratus persen naiknya. Begitu penumpang tanya, dengan tengik sang tukang tarik ongkos menjawab, "Ini lebaran, ongkosnya naik! Kagak mau, turun aja!" Si penumpang pun hanya bisa terpaksa mengikhlaskan. Buat mudiker-mudiker banyak duit sih no problemo. Tetapi, buat mudiker tongpes semacam bulik saya, remuk redamlah. Maunya maaf lahir-batin, tahu-tahu sengsoro lahir-batin. Sepertinya perlu demo besar-besaran seperti saat menentang kenaikan BBM. Lha, BBM naik saja ongkosnya tidak gila-gila amat e.
Sampai sekarang saya tidak paham kenapa pemerintah memberikan tuslah, menetapkan tarif atas tarif bawah yang justru membuka peluang perbuatan curang, tega dan nggilani sepanjang H-7 sampai H+7. Mbok nyontoh itu lho, Matahari yang berani memberikan diskon sampai 50% plus 20%. Atau seperti Sido Muncul yang menggratiskan mudik bakul-bakul jamu.
"Ah, setahun sekali mundak ra popo, mas!"
Ndasmu!

Warnet Pelangi, 28 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar