Bogeng Ngomongin Anaknya

NAMA asli boleh Sugi Hartono, namun konco-konco lebih suka memanggilnya Bogeng. Bogeng sendiri merupakan plesetan dari kata bugang yang berarti tolol dalam kamus bahasa kampung kami. Panggilan nyrempet-nyrempet bullying tersebut akibat dia tak naik kelas empat kali semasa SD. Dengan alasan itu pula bapak-emaknya mencukupkan ijazahnya sampai SD saja.
Bogeng Ngomongin Anaknya
Bogeng adalah tipe manusia ngeyelan. Sebaik apapun nasehat dan pendapat takkan gampang dia serap. Kata budhe dan pakliknya, sifatnya itu lantaran ari-arinya dulu dipotong dengan cara digigit oleh bapaknya. Selain ngeyelan, lagi-lagi kata budhe dan pakliknya, perbuatan beraroma mitos bapaknya itu juga membuat badannya seperti Gatotkoco, tulang kawat balung wesi. Memang, entah ada hubungannya atau tidak, berkali-kali jatuh ngglundung selama jadi buto (joki karapan sapi) dia tidak pernah luka parah, apalagi patah tulang. Dia jadi joki sejak kelas 5 SD sampai dua tahun kemudian.
Meski rekor pendidikannya kurang woyo-woyo ples ngeyelan, Bogeng memiliki rasa penasaran terhadap segala hal. Apapun itu, kalau sudah menarik perhatiannya, dia akan bertanya pada orang dengan level pengetahuan di atasnya. Dia juga tak segan untuk mencoba sesuatu. Bahkan, dia bisa naik onthel sampai nyetir mobil tanpa bimbingan dan ikut kursus. Cukup bertanya caranya, melihat langsung, lalu mencobanya. Ini yang membuat saya mikir, kenapa jaman SD dulu dia kok tinggal kelas sampai empat kali. Mungkin ada hubungannya dengan otak kanan-otak kiri
Sekarang Bogel berusia 28 tahun. Pekerjaannya melaut, termasuk bertani rumput laut. Tinggal bersama mertuanya. Istrinya satu. Anaknya satu, laki-laki. Saat anaknya baru lahir saya pernah bertanya.
"Anakmu siapa namanya, Geng?"
"Ahmad Sultoni. Bagus to, Par?"
"Sip! Artinya apa, Geng?"
"Ora ngerti. Yang jelas dia anakku!"
"Panggilannya Toni, Geng, bagus."
"Bocah ndeso kok Toni. Essul saja lebih patut."
Lain saat, pas lagi ikut ngumpul reriungan di poskamling setelah nyekar ke makam emmaknya, Bogel geleng-geleng kepala sambil nyengenges. Pasalnya, dia melihat anak tetangga sedang nangis gulung-koming, ngamuk minta tablet Android. Sang ibu makin mengancam, makin kenceng tangis si anak. Usianya sepantaran dengan Essul, anaknya Bogeng. Plus minus 4 tahunlah.
"Untung Essul ndak minta Android."
"Paling-paling kalau lihat temannya mainan Andorid juga minta, Geng."
"Ndak, kok! Di kampung mertuaku, anak-anak tetangga sudah pada punya. Essul ndak tertarik blas. Mainan Androidku saja ndak pernah."
"Biarpun nggak minta, kamu beliin saja. Nelongso lho anakmu kalau nggak seperti teman-temannya."
"Kan anakku ndak minta. Kalau sudah SMP, minta ndak minta, baru tak beliin."
"Terus, anakmu mainan apa?"
Bogeng tersenyum lebar.
"Kayaknya Essul nurun aku, Par. Senengannya sama kewan. Pagi ikut mbahnya makani kambing dan ayam. Kalau tidur ngeloni kucing. Sama biawak anakan juga ndak takut lho. Malah digendongi. Terus ... ini."
Bogeng mencolek-colek Androidnya.
"Nih, Par!"
Bogel memperlihatkan dua foto Ahmad Sultoni aka Essul bersama seekor anak sapi.
Bogeng Ngomongin Anaknya
Bogeng Ngomongin Anaknya
"Weh, kamu ini anak dibiarin sama sapi. Diseruduk habis anakmu, Geng!"
"Mmmm, kamu tahu apa, Par! Ini sapi, kalau sama Essul malah jinak, ndak pecicilan. Kamu lihat sendiri itu gimana. Kayak teman kan?"
"Anakmu pancen nyeleneh, Geng. Persis kamu! Hehehehe."
"Apa kubilang, nurun aku kan. Besar nanti, tak kira Essul bisa kayak Panji. Essul Si Penakluk Ular! Hahahahaha."
"Ular apa? Wong anakmu itu ngglibet sama sapi kok."
"Iya, ya. Kalau sapi apa, Par?"
Sam yang sedari tadi main remi sekonyong-konyong nyahut.
"Penggembala sapi, Geng. Essul Si Penggembala Sapi. Sip, Geng!"
Semua tertawa terkeklek-keklek. Termasuk Bogeng.
"Hahahahaha. Asu! Mosok anakku jadi tukang angon sapi, cah, cah? Gawene tak rewangi udho mblundus lho, cah!"

Rumah Kang Lantip, 30 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar