Tentang Balapan Kelereng

Tentang Balapan Kelereng
WAKTU Kang Lantip memulai proyek pembangunan sirkuit balap kelereng di tegalan samping rumahnya, tetangga kanan-kiri langsung bisik-bisik nggak enak. Malah, ada yang diam-diam menuduh balap kelereng itu nantinya cuma untuk menutupi praktek taruhan. Maklum, mereka sudah pada tahu kalau Kang Lantip adalah botoh tarung ayam. Cuma mereka tidak tahu Kang Lantip sudah tiarap gara-gara nyaris kecekel dalam suatu operasi pekat.
Tetapi bisik-bisik dan diam-diam itu segera nomplok di ruang dengar Kang Lantip berkat pradulan Yu Marnih, sang istri tercinta. Empunya warung keceplosan cerita saat Yu Marnih belanja sembako.
"Halllah ... kamu dan mereka tau apa isi otakku? Ini bisnis, proyek, peluang."
"Iyo, iyo, sak karepmu, Pap. Asal, jangan sampe aku jadi janda narapidana!"
"Hussssy ... Cangkemmu itu lho, Mam!"
Balap kelereng beberapa tahun lalu memang sempat booming. Peminatnya bukan cuma bocah-bocah nggak kathokan, melainkan juga orang-orang dewasa. Lumayan buat iseng-iseng berhadiah. Hanya saja, lantaran ulah oknum-oknum yang keblinger menjadikannya sebagai ajang taruhan, bapak-bapak pulisi mengobrak-abriknya. Alhasil, balap kelereng mengalami kevakuman.
Dan Kang Lantip mau menghidupkannya kembali. Setelah gerilya sana-sini dan mendapat restu plus antusiasme dari kolega-koleganya, dia lantas membeli papan-papan kayu dan merancang gimana lelikunya. Untuk mempermulus proyeknya itu, Kang Lantip juga mengkaryakan Mudji, Lono, Gepeng, Kolik, Bogel dan Sam, pemuda-pemuda pengangguran harapan kampung.
Tentang Balapan Kelereng
Hari pertama balapan, pesertanya sungguh-sungguh melebihi ekspektasi. Uang pendaftaran yang cuma 3000 plus kambing muda (hadiah juara 1), dvd player (hadiah juara 2) dan henpon (hadiah juara 3) rupanya sukses membetot animo. Kang Lantip sebagai Jean Todt serta Mudji, Lono, Gepeng, Kolik, Bogel dan Sam sebagai kru sampai-sampai sangat sibuk. Kelereng-kelereng silih berganti menggelinding cepat di sirkuit papan kayu yang garis startnya nangkring di batang pohon mangga; menurun, meliuk, menikung sampai garis finish. Tempik-sorak membuana.
Istimewanya, sebelum penggeberan balapan pertama tersebut, Kang Lantip menghadirkan ketua RT, bayan, carik, kades dan perwakilan polsek untuk membuktikan bahwa dia betul-betul komit melarang taruhan walau cuma serupiah. Pabila ada yang taruhan, maka Kang Lantip sendiri yang akan melaporkan pelaku ke polsek. Semua peserta pun setubuh.
Sore harinya, usai ngitung bathi, usai membagikan uang lelah pada segenap kru balapan (masing-masing dapat 70.000) dan jajan bakso ting-ting bareng anak-istri, Kang Lantip kedatangan tiga orang ibuk-ibuk tetangga.
"Balapannya masih ada to, Tip?"
"Oh, masih, masih, Buk. Malah tadi pada minta seminggu dua kali. Jum'at sama Minggu. Memangnya kenapa, Buk?"
"Mmm ... begini. Kalok boleh, aku, Yu Tum sama Marsiyem pengin jualan."
"Ooooh, boleh, boleh sanget, Buk. Hehehehe .... Silahkan, silahkan."
"Terus, kami mesti bayar berapa buat sewa tempat?"
"Hua ... hahahaha. Halah ... halah. Ndak usssahhhh! Kayak apa pake bayar segala. Gratis, Ibuk-ibuk."
"Tenane, lho? Hehehehe ...
"Elloh, niki saestu, Ibuk-ibuk."
Sampai postingan ini terbit, Kang Lantip sudah menggeber delapan kali balapan. Pesertanya tetap sak jagat raya, membludak, gas poll. Ibuk-ibuk yang tempo hari minta ijin buat jualan mesam-mesem lantaran aqua, teh gelas, gorengan, intel (indomie telor) dan rokok ecerannya laris manis, tandas tuntas. Mudji, Lono, Gepeng, Kolik, Bogel dan Sam pun tak was-was lagi jadi pria-pria tuna pulsa. Paling tidak, dalam seminggu, dari dua kali balapan, masing-masing dari mereka memperoleh 140.000. Kalau sebulan? Lumayanlah, ketimbang lumanyun.
"Sekarang, kamu tau isi otakku kan, Mam?"
Kang Lantip merenges pada Yu Marnih yang kian hari kian gembrot itu.
"Elleh ... Dhapurmu, Pap, Pap. Gitu aja kok bungah."
Kang Lantip nggak menggubris lagi. Jean Todt from kampung itu berjalan mBagong masuk kamar.

Kamar Krusek, 29 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar